Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda
ADA pembangunan pura yang cukup
besar di luar Bali. Panitia pembangunan mengunggah rencana itu lengkap dengan
desainnya. Lalu ada permintaan kepada umat Hindu untuk menyisihkan dana punia
agar pembangunan pura itu berjalan lancar. Sambutan umat bagus. Namun ada umat
dari Bali yang bertanya: Siapa yang distanakan (melinggih) di pura itu?
Panitia pembangunan pura tak bisa
menjawab pertanyaan ini. Bagi mereka, membangun pura tentu untuk tempat
bersembahyang ke hadapan Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa. Tak mungkin
membangun pura untuk restoran. Tapi yang bertanya terus mencecar. Dia ingin
penjelasan siapa Ida Bethara yang melinggih
di sana. Dia lantas menyebutkan contoh. Pura besar di Punduk Dawa, Klungkung,
dibangun untuk menstanakan Ida Bethara Mpu Gana karena itu nama puranya
ditambah embel-embel “Linggih Mpu Gana”. Pura di Silayukti untuk linggih Ida Bethara Mpu Kuturan. Panitia
pembangunan pura di Jawa ini akhirnya menjawab dengan tegas: pura dibangun
untuk memuja Tuhan. Siapa pun boleh memuja Tuhan di pura itu nantinya.
Memang umat Hindu tidak banyak yang
memahami fungsi sebuah pura. Tidak semua pura
untuk memuja Tuhan. Ada pura untuk memuja leluhur, yaitu orang-orang suci di
masa lalu yang sudah moksa, yang di Bali sudah
disebut
Ida Bethara. Dengan pemahaman baik belakangan ini,
memang pura yang tujuan utamanya memuja leluhur itu dilengkapi dengan pemujaan
kepada Tuhan dengan menambah bangunan Padmasana. Konsep ini berdasarkan bahwa
leluhur kita menyatu dengan Tuhan, bukan berada di sisinya sebagaimana di agama
lain. Tetapi banyak pura tidak dipakai untuk memuja leluhur, pura itu hanya
untuk memuja Tuhan saja. Pura itu dikenal dengan sebutan Pura Jagatnatha dan di
luar Bali hampir semua pura adalah Pura Jagatnatha.
Bangunan Padmasana dengan segala
tingkatannya ini adalah pura khusus memuja Tuhan. Pura seperti
ini bisa disebut pura umum karena siapa pun bisa bersembahyang di sini tanpa dibedakan oleh status
sosial dan keturunan.
Yang berstana di sini adalah Tuhan, bukan Bethara atau Istadewata.
Pada sebagian umat memang memuja Tuhan
dirasakan sebagai sesuatu yang sangat umum. Mereka membutuhkan hal
yang lebih spesifik, misalnya, ingin memuja Tuhan hanya sebatas
untuk memohon perlindungan, ingin memuja Tuhan
sebatas untuk memuliakan ilmu pengetahuan. Memuja Tuhan yang menguasai kehidupan di samudra, memuja Tuhan untuk
hasil pertanian yang bagus, dan seterusnya.
Semua itu dalam konsep Hindu
terwadahi dengan adanya Dewa-dewa atau dalam istilah Weda
disebut Istadewata. Dewa yang berasal dari kata div
yang berarti sinar, adalah sinar
sucinya Tuhan, sinar
kekuatan sakti dari Tuhan Yang Maha Esa. Kalau kita ibaratkan Tuhan sebagai
matahari, maka sinar matahari yang beragam fungsi itu
adalah para dewa. Kita mencari sinar ultra fiolet dengan cara
berjemur mencari vitamin D, intinya
tak lain adalah mencari matahari itu sendiri.
Sinar itu timbul karena ada (kekuatan) matahari. Kalau matahari
tak ada, sinar itu pun tak ada. Artinya, memuja
dewa adalah juga memuja Tuhan, tetapi memuja Tuhan belum
tentu fokus memuja dewa seperti yang kita inginkan
di dalam permohonan.
Di Bali, Istadewata itu
dikelompokkan untuk memudahkan umat menghayatinya. Misalnya ada Tri
Murti, terdiri dari Dewa Brahma sebagai pencipta dan pura yang dibangun disebut Baleagung atau Pura Desa. Dewa Wisnu sebagai
pemelihara dan pura yang khusus
untuk Beliau disebut Pura Puseh. Dewa Siwa sebagai pemralina –
mengembalikan ke asal-usulnya – dan pura tempat memujanya disebut Pura Dalem.
Di luar kelompok Trimurti ini masih banyak ada dewa, misalnya Dewa Baruna dan
untuk itu dibangun Pura Segara. Di luar Bali mandir-mandir umat Hindu etnis
India lebih spesifik lagi, ada memuja Durga,
memuja Dewi Sri dan seterusnya.
Adapun pura yang dibangun untuk memuja leluhur, lokasinya ada di tempat
di mana leluhur itu dulu menetap atau membuat “sejarah”. Misalnya, Pura
Silayukti adalah tempat Mpu Kuturan dulu melakukan yoga semadi, Pura Lempuyang
Madya adalah tempat Mpu Gni Jaya tinggal, Pura Uluwatu, Pura Tanah Lot dan sebagainya adalah tempat-tempat
“bersejarah” yang diwariskan Danghyang Nirartha.
Demikianlah pura dikunjungi sebagai sarana untuk memuja Tuhan, tetapi di
dalam cara memujaNya kita bisa lewat perantaraan
leluhur atau Istadewata
karena itu muara tujuannya sama. Maka jenis pura
pun berbeda. Ada Pura Jagatnatha dan ada pura leluhur atau biasa disebut pura
kawitan. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar