Senin, 01 Juli 2019

Pasraman dan Sistem Zonasi

Mpu Jaya Prema

RIBUT-ribut soal kebijakan zonasi untuk pendaftaran peserta didik baru (PPDB) terjadi di berbagai daerah. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan peraturan menteri yang mewajibkan siswa harus masuk ke sekolah yang terdekat dengan domisili orangtuanya. Faktor jarak yang menentukan di mana anak-anak itu harus bersekolah. Dengan demikian seorang anak didik baru tak bisa memilih sendiri di mana dia bersekolah. Sebelum ini umumnya sekolah favorit yang diincar seorang siswa baru, meski pun itu jaraknya jauh dari rumah.


Kebijakan PPDB ini sesungguhnya baik. Dengan demikian tidak ada sekolah favorit dan sekolah tidak bermutu karena nantinya diharapkan semua sekolah itu mutunya sama, kegiatan dan sistem belajarnya pun sama. Lalu dengan bersekolah di lingkungan terdekat lalu lintas orang dalam kaitan ke sekolah menjadi berkurang. Anak-anak pun menjadi lebih kenal dengan temannya yang tinggal di kawasan yang sama. Intinya ada pemerataan.

Begitulah teori di belakang meja yang ada di kementrian. Kenyataannya di beberapa daerah mutu sekolah itu amat jomplang. Ada sekolah yang mutunya bagus dan suasana belajarnya pun bagus pula. Bahwa uang sekolahnya mahal karena ada pungutan yang dikenakan secara khusus, itu tak menjadi persoalan. Sekolah swasta pun sama, ada yang mutunya bagus dan ada yang seadanya saja. Sekarang banyak yang kelimpungan karena pilihan di mana seseorang bersekolah harus berdasarkan jarak. Memang ada prioritas lain, seperti nilai prestasi tetapi persentasinya kecil.


Di luar Bali, di mana pesantren menjadi alternatif untuk menuntut ilmu, tak begitu terasa soal PPDB ini. Sekolah-sekolah yang disebut madrasah itu berada di bawah kementrian lain, yakni Kementrian Agama sehingga luput dari peraturan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Tidak perlu direpotkan oleh sistem zonasi.

Di Bali amat terasa karena sekolah swasta yang berada di bawah Kementrian Agama boleh disebutkan belum muncul. Padahal pendirian sekolah itu sudah ada aturannya dengan nama pasraman, diambilkan dari cara-cara pengajaran tradisional masa lalu.  Secara resmi pendidikan dalam wadah pasraman itu diberikan tempat dalam undang-undang. Lewat UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasraman disejajarkan dengan pendidikan madrasah yang ada di pesantren-pesantren. Bahkan dalam bahasa keseharian disebutkan bahwa pasraman itu adalah “pesantren umat Hindu” atau oleh beberapa umat Hindu di balik bahwa pesantren itu adalah “pasraman umat Islam”. Namun syarat-syarat pendirian pasraman formal itu sangat berat: dinaungi organisasi yang berbadan hukum, punya gedung sendiri, kurikulum jelas, tenaga pengajar yang cukup, dan berbagai syarat yang hampir sama dengan sekolah swasta lainnya. Bahkan pasraman dalam kaitan dengan undang-undang ini tak lain dari sekolah swasta yang bernapaskan Hindu.

Karena itu meski sudah dikukuhkan beberapa tahun lalu, nampaknya umat Hindu kurang berminat membuat pasraman yang sesuai aturan pemerintah itu. Perlu biaya besar. Yang ada sekarang ini adalah pasraman tradisional yang hanya mengajarkan masalah agama Hindu dan ditambah dengan budaya B\ali. Pasraman tradisional ini tak punya pendidikan berjenjang yang sesuai dengan sistem pendidikan nasional  sebagaimana sekolah-sekolah yang berada di pesantren.

Pemda Bali pernah menggerakkan adanya pasraman desa adat yang biayanya dibantu oleh pemerintah daerah. Yang diajarkan dalam pasraman adat ini lebih banyak masalah budaya Bali yang sesungguhnya hanyalah tambahan pengetahuan bagi siswa-siswa yang sudah mengikuti pendidikan di sekolah formal. Bantuan Pemda Bali dikaitkan dengan dana bantuan yang diterima desa adat.

Jika memang sulit membuat pasraman formal sesuai undang-undang, bisakah pasraman tradisional atau pasraman nonformal ini dihidupkan kembali? Tujuannya diperluas, tidak lagi hanya mengajarkan masalah agama dan budaya, tetapi juga pengetahuan umum. Sehingga anak-anak yang belajar di sekolah swasta atau sekolah negeri yang mutunya “masih diragukan” mendapatkan tambahan dengan belajar di pasraman nonformal ini. Kalau ini bisa dilakukan dan tentu biayanya masih bisa diperoleh dari Pemda Bali, tentu bisa mengisi kekurangan dari sekolah-sekolah yang dianggap “kurang mutu” itu.

Dengan demikian kita kembali kepada sistem pendidikan pasraman di masa lalu yakni mendidik manusia seutuhnya dengan berbagai ilmu, tak cuma belajar agama. Dalam perjalanan kemudian, ada yang hilang dari konsep pasraman ini, yakni unsur pendidikan di luar agama dan budaya. Urusan pendidikan itu diserahkan sepenuhnya ke pemerintah atau dalam istilah kerennya pendidikan formal.

Memang sebaiknya mendirikan pasraman formal yang diakui undang-undang seperti madrasah di pesantren-pesantren. Pada saat ingin menguatkan budaya dan adat Bali lewat program Nangun Sadkertih Loka Bali, seharusnya ada yang berpikir untuk membuat pasraman formal sesuai undang-undang. Jika itu ada orang tua murid punya pilihan ke mana memasukkan anaknya karena keterbatasan sistem zonasi ini. Tetapi sekali lagi ini hanyalah alternatif yang kesekian dari kisruh PPDB sekarang. Cara lain tentu pemerintah fokus pada pemerataan mutu sekolah dan membantu sekolah swasta yang kehidupannya masih merana. Karena sistem zonasi ini idenya bagus tentu harus dilanjutkan, asalkan penerapannya tidak kaku. Biarkan pemerintah daerah ikut campur karena pengelolaan infrastruktur pendidikan dasar itu ada di daerah, bukan di pusat. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar