Sabtu, 27 Juli 2019

Kemenangan

Putu Setia | @mpujayaprema

PADA saat pasangan Prabowo–Megawati dan Anies Baswedan–Surya Paloh makan siang di lokasi berbeda di kawasan Menteng, Jakarta, saya pun makan bersama keluarga di kampung lereng Gunung Batukaru. Hari itu, Rabu Kliwon 24 Juli lalu adalah Hari Raya Galungan, hari yang dirayakan umat Hindu sebagai “hari kemenangan”.

Empat tokoh republik itu barangkali tak perhatian kalau hari itu adalah hari yang baik untuk mencapai kemenangan dalam meniti hidup. Kecuali mungkin Anies karena dia sempat mengirim ucapan Galungan lewat media sosial.

Siapa saja yang memperoleh kemenangan? Saya kira semuanya. Tentu kemenangan versi mereka sendiri. Kemenangan yang berbeda karena targetnya sudah jelas beda.

Megawati merasa menang karena berhasil mengajak Prabowo ke rumahnya lewat diplomasi politik nasi goreng. Berkali-kali dia menyebutkan nasi goreng telah meluluhkan hati Prabowo. Kedua ketua umum ini pun pernah “bermesraan” dalam satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden pada pemilihan presiden 2009. Tetapi kalah oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Budiono. Kini Mega bisa berkata: “Lihat nih siapa yang bisa meluluhkan hati lawan.”

Prabowo mencuri kemenangan besar karena tidak ada kamus kalah dalam perjuangannya “memperbaiki martabat kehidupan bangsa”. Kengototan memenangi pemilihan presiden sudah dilakukan secara terstruktur dan sistematis, bahkan sejak sebelum pemungutan suara dilakukan. Menuduh pemilu curang namun gagal dalam gugatan ke Mahkamah Konstitusi karena tak meyakinkan dengan bukti-bukti, tak menyurutkan langkah untuk membawa Gerindra ke puncak kekuasaan. Kini lewat nasi goreng, langkah menuju kekuasaan itu hampir pasti, minimal membaginya. Prabowo telah mengobrak-abrik keutuhan Koalisi Indonesia Kerja, koalisi partai pendukung Jokowi-Ma’ruf Amin.

Memang, Golkar, Nasdem, PKB dan PPP gerah. Ketua umum keempat partai ini sempat berkumpul dan memberikan sinyal “menggagalkan” pertemuan Jokowi, Megawati dan Prabowo. Keempat partai yang tak suka Gerindra masuk ke pelukan Jokowi – karena akan mengurangi jatah kekuasaan mereka di pemerintahan – hanya berhasil membuat Jokowi urung dalam pertemuan nasi goreng itu, tetapi tidak membatalkan perjumpaan Mega-Prabowo.

Namun Surya Paloh menemukan cara mengusik. Pada hari yang sama, Surya bertemu dengan Gubernur Jakarta Anies Baswedan. Tiba-tiba saja publik dikejutkan pujian Surya Paloh untuk Anies Baswedan dengan menyebut Anies sebagai calon potensial untuk kepemimpinan di masa datang. Surya memenangi perhatian publik setidaknya membuat diplomasi nasi goreng punya tandingan.
Bagaimana dengan Anies? Sedikit salah tingkah dengan manuver Surya, sesungguhnya dialah sang pemenang. Hujatan sebagai gubernur yang hanya pandai menata kata dan bukan menata kota, gubernur yang didukung kelompok intoleran, kini terbalik. Dia dipuji oleh pimpinan partai yang pendukungnya adalah penghujat Anies.

Yang kalah adalah rakyat yang tak henti disuguhi kegaduhan politik. Jarang dalam sejarah republik, memilih presiden seribet ini. Juga tatkala presiden akan memilih menterinya, hebohnya tak ketulungan, padahal presiden bisa bekerja senyap karena punya hak prerogatif. Rakyat berharap pemerintah mengurangi tensi politik, kembali bersama rakyat. Misal, memperbaiki sistem zonasi penerimaan siswa baru yang amburadul, mengurai ribetnya mengurus rujukan jika sakit mengandalkan BPJS, memperhatikan ancaman kekeringan yang menyulitkan air bersih. Ternyata masih disuguhi tontonan para elit berebut kekuasaan. Duh...

(Dari Koran Tempo Akhir Pekan 27 Juli 2019)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar