Sabtu, 27 Juli 2019

Sudahkah Perbaiki Moral Saat Galungan

Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

HARI Raya Galungan disebut sebagai hari kemenangan dharma mengalahkan adharma. Hari kemenangan itu sudah berlalu. Apakah Anda merasa sudah menang melawan adharma? Apakah pikiran Anda sudah menjadi terang dan tidak lagi dipenuhi nafsu serakah sebagai simbol masih bersemayamkan adharma? Semoga hal itu yang terjadi.

Sulit sekali memenangkan dharma, karena itu sulit pulalah bisa merayakan Galungan dengan benar. Baik bagi mereka yang paham betul apa arti dan makna Galungan, maupun bagi mereka yang tidak paham akan arti dan makna Galungan. Antara yang paham dan tidak, merayakan Galungan juga berbeda, namun kesulitannya tetap sama karena pengaruh lingkungan. Jadi, kalau Anda sudah bisa memenangkan dharma, maka selamat untuk keteguhan Anda.

Mereka yang tak paham dengan makna Galungan, merayakan hari itu dengan kebiasaan yang sering kita lihat di masyarakat Bali belakangan ini. Sebelum Galungan mereka sibuk menyiapkan berbagai hal. Perlengkapan upacara, misalnya, mulai dari membuat penjor Galungan sampai mendapatkan buah-buah untuk sesajen, semuanya bisa dibeli secara bebas. Buah pun tersedia di berbagai supermarket dan “toko-toko modern” yang sudah bertebaran di desa-desa. Padahal Galungan mesti dirayakan dengan mempersembahkan hasil bumi dari alam di lingkungan sendiri, sebagai rasa terimakasih kepada ibu pertiwi yang telah memberi karunia kehidupan kepada manusia. Bukankah 25 hari sebelum Galungan ada yang disebut Tumpek Pengarah atau Tumpek Uduh, di mana orang-orang mendatangi pohon yang akan menghasilkan buah untuk persembahan Galungan?

Begitu pula perlengkapan “pesta hari raya”. Babi dan berbagai hewan disembelih untuk memaknai Hari Penampahan, padahal sejatinya yang justru “disembelih” adalah sifat-sifat binatang yang ada di dalam diri kita. Pesta pun berlanjut dengan arak dan tuak, dan di banjar-banjar juga ada “bar Galungan”, tentu dengan minuman beralkohol sejenis bir. Lalu berjudi, main ceki atau domino. Bagaimana bisa memenangkan dharma kalau situasinya sudah seperti ini? Perayaan Galungan justru bisa merusak moral padahal Galungan dimaksudkan untuk memperbaiki moral. Karena itu bagi Anda yang bisa melawan ini dan memenangkannya maka itu sangatlah bagus.

Bagi yang paham arti dan makna Galungan, tentu sudah terbebas dari kebiasaan seperti itu. Mereka berusaha mengekang diri untuk bertekad mengalahkan adharma demi kemenangan dharma. Sejak enam hari sebelum Galungan, mereka sudah membersihkan lingkungannya sendiri termasuk alat-alat yang dipakai untuk upacara Galungan. Itu disebut Sugihan Jawa. Esoknya, pada Sugihan Bali mereka membersihkan diri sendiri – tentu selain phisik adalah pembersihan rohani. Setelah itu mereka berusaha melakukan pengekangan diri untuk menghindari “cengkeraman” Sang Bhuta Tiga yang terdiri dari Sang Bhuta Galungan, Sang Bhuta Dungulan dan Sang Bhuta Amangkurat.

Sudahkah Sang Butha Tiga itu berhasil kita taklukkan? Jika sudah berarti kita telah memperbaiki moral kita di saat rangkaian upacara Galungan. Kalau ada kekeliruan atau nafsu serakah yang masih mendominasi badan kita, maka janganlah kita berdalih bahwa semua ini karena pengaruh zaman yang disebut Kali Yuga, zaman penuh kegelapan. Itu hanya dalih pembenaran saja. Kalau kita telusuri perjalanan zaman, Kali Yuga itu sudah dalam rentang waktu yang sangat panjang, ada yang menyebut dimulai pada saat penobatan Raja Parikesit, cucu Raden Arjuna. Kalau sepanjang itu zaman kegelapan, kenapa di masa lalu pada saat Kerajaan Singosari, Majapahit, Kerajaan Gelgel dan seterusnya, moralitas masyarakat masih tinggi dan kejujuran masih dipelihara dengan baik? Bukankah sama-sama di zaman Kali Yuga? Lebih baik kita berterus-terang telah gagal merayakan Galungan karena masih ada unsur-unsur adharma dalam hidup kita.

Memang, kegelapan selalu menyelimuti manusia. Karena itu agama Hindu memiliki hari yang punya siklus tertentu untuk berperang melawan kegelapan, berperang melawan adharma, yang di masing-masing wilayah diberi nama berbeda. Di India dirayakan dua kali setahun. Di bulan April (Waisaka) dirayakan dengan sebutan Wijaya Dasami. Lalu di bulan Oktober (Kartika) dirayakan dengan nama Nawa Ratri. Umat Hindu etnis Bali menamainya Hari Galungan – warisan yang sejatinya sudah dibawa dari Jawa, yang siklusnya juga dua kali setahun, jika dihitung dengan tahun Masehi.
Kalau saja umat Hindu konsisten dalam setiap siklus itu mengalahkan adharma untuk kemenangan dharma, maka seharusnya moralitas umat semakin membaik. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar