Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda
HARI
Raya Galungan disebut sebagai
hari kemenangan dharma mengalahkan adharma. Hari kemenangan
itu sudah berlalu. Apakah Anda merasa sudah menang melawan adharma? Apakah pikiran Anda sudah menjadi terang dan tidak
lagi dipenuhi nafsu serakah sebagai simbol masih bersemayamkan
adharma? Semoga hal itu yang terjadi.
Sulit sekali memenangkan
dharma, karena itu sulit pulalah bisa merayakan Galungan dengan benar. Baik
bagi mereka yang paham betul apa arti dan makna Galungan, maupun bagi mereka
yang tidak paham akan arti dan makna Galungan. Antara yang paham dan tidak,
merayakan Galungan juga berbeda, namun kesulitannya tetap sama karena pengaruh
lingkungan. Jadi, kalau
Anda sudah bisa memenangkan dharma, maka selamat untuk keteguhan Anda.
Mereka yang tak paham dengan makna
Galungan, merayakan hari itu dengan kebiasaan yang sering kita lihat di
masyarakat Bali belakangan ini. Sebelum Galungan mereka sibuk menyiapkan
berbagai hal. Perlengkapan upacara, misalnya, mulai dari membuat penjor
Galungan sampai mendapatkan buah-buah untuk sesajen, semuanya bisa dibeli
secara bebas. Buah pun tersedia di berbagai supermarket dan “toko-toko modern”
yang sudah bertebaran di desa-desa. Padahal Galungan mesti dirayakan
dengan mempersembahkan hasil bumi dari alam di lingkungan sendiri, sebagai rasa
terimakasih kepada ibu pertiwi yang telah memberi karunia kehidupan kepada
manusia. Bukankah 25 hari sebelum Galungan ada yang disebut Tumpek Pengarah atau
Tumpek Uduh, di mana orang-orang mendatangi pohon yang akan menghasilkan buah
untuk persembahan Galungan?
Begitu pula perlengkapan “pesta hari
raya”. Babi dan berbagai hewan disembelih untuk memaknai Hari Penampahan,
padahal sejatinya yang justru “disembelih” adalah sifat-sifat binatang yang ada
di dalam diri kita. Pesta pun berlanjut dengan arak dan tuak, dan di
banjar-banjar juga ada “bar Galungan”, tentu dengan
minuman beralkohol sejenis bir. Lalu berjudi, main ceki atau domino. Bagaimana
bisa memenangkan dharma kalau situasinya sudah seperti ini? Perayaan Galungan justru bisa merusak
moral padahal Galungan dimaksudkan untuk memperbaiki moral. Karena itu bagi
Anda yang bisa melawan ini dan memenangkannya maka itu sangatlah bagus.
Bagi yang paham arti dan makna
Galungan, tentu sudah terbebas dari kebiasaan seperti itu. Mereka berusaha
mengekang diri untuk bertekad mengalahkan adharma demi kemenangan dharma. Sejak
enam hari sebelum Galungan, mereka sudah membersihkan lingkungannya sendiri
termasuk alat-alat yang dipakai untuk upacara Galungan. Itu disebut Sugihan
Jawa. Esoknya, pada Sugihan Bali mereka membersihkan diri sendiri – tentu
selain phisik adalah pembersihan rohani. Setelah itu mereka berusaha melakukan
pengekangan diri untuk menghindari “cengkeraman” Sang Bhuta Tiga yang terdiri
dari Sang Bhuta Galungan, Sang Bhuta Dungulan dan Sang Bhuta Amangkurat.
Sudahkah Sang
Butha Tiga itu berhasil kita taklukkan? Jika sudah berarti kita telah
memperbaiki moral kita di saat rangkaian upacara Galungan. Kalau ada kekeliruan
atau nafsu serakah yang masih mendominasi badan kita, maka janganlah kita
berdalih bahwa semua ini karena pengaruh zaman yang disebut Kali Yuga, zaman penuh kegelapan. Itu hanya dalih pembenaran saja. Kalau kita telusuri perjalanan
zaman, Kali Yuga itu sudah dalam rentang waktu yang sangat panjang, ada yang
menyebut dimulai pada saat penobatan Raja Parikesit, cucu Raden Arjuna. Kalau
sepanjang itu zaman kegelapan, kenapa di masa lalu pada saat Kerajaan Singosari,
Majapahit, Kerajaan Gelgel dan seterusnya, moralitas masyarakat masih tinggi
dan kejujuran masih dipelihara dengan baik? Bukankah sama-sama di zaman Kali
Yuga? Lebih baik
kita berterus-terang telah gagal merayakan Galungan karena masih ada
unsur-unsur adharma dalam hidup kita.
Memang, kegelapan selalu menyelimuti manusia.
Karena itu agama Hindu memiliki hari yang
punya siklus tertentu untuk berperang melawan kegelapan, berperang melawan
adharma, yang di masing-masing wilayah diberi nama berbeda. Di India dirayakan
dua kali setahun. Di bulan April (Waisaka) dirayakan dengan sebutan Wijaya
Dasami. Lalu di bulan Oktober (Kartika) dirayakan dengan nama Nawa Ratri. Umat
Hindu etnis Bali menamainya Hari Galungan – warisan yang sejatinya sudah dibawa
dari Jawa, yang siklusnya juga dua kali setahun, jika dihitung dengan tahun Masehi.
Kalau saja umat Hindu konsisten
dalam setiap siklus itu mengalahkan adharma untuk kemenangan dharma, maka
seharusnya moralitas umat semakin
membaik. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar